Senin, 22 April 2013

penyakit minamata










Tiba-tiba saja perhatian warga di Indonesia, tersedot ke Teluk Buyat di Sulawsi. Penyebabnya, sejumlah nelayan di kawasan itu, menderita penyakit yang diduga akibat pencemaran lingkungan oleh unsur logam berat Merkuri atau air raksa. Sejumlah pengamat lingkungan mengkhawatirkan, akan munculnya penyakit Minamata di Teluk Buyat. Silang sengketa sampai sekarang memang belum tuntas. Tapi apa sebetulnya penyakit Minamata itu ? Sesuai dengan namanya, penyakit Minamata berasal dari nama teluk Minamata di Jepang. Kasus pertama penyakit Minamata ditemukan tanggal 21 April 1956. Ketika itu seorang anak perempuan berusia lima tahun, dibawa ke klinik pediatri dr.Kaneki Noda, dengan keluhan mengalami sejumlah gejala kerusakan otak dan jaringan saraf tulang belakang. Seminggu kemudian, adiknya yang berusia tiga tahun, juga dibawa ke klinik karena menunjukan gejala yang sama. Karena itulah, dr.Noda pada tanggal 1 Mei 1956 merujuk kedua pasien kecil itu ke pusat kesehatan Minamata. Para dokter di pusat kesehatan Minamata menduga, kasusnya tidak hanya menimpa dua anak tsb. Sebagai konsekuensinya dilakukan penyidikan epidemiolog di kawasan Teluk Minamata. Hasilnya amat mengejutkan, karena jumlah penderitanya amat banyak. Bulan Agustus 1956, dengan dikoordinir Universitas Kumamoto dilakukan penelitian yang lebih serius. Ditarik kesimpulan sementara, para penderita penyakit kerusakan otak dan saraf itu, disebabkan cemaran logam berat dalam kadar tinggi. Tapi logam berat apa? Dan dari mana sumber logam beratnya?

Pencemaran pabrik kimia

Sorotan langsung ditujukan ke pabrik kimia Chisso, yang berada di kawasan Teluk Minamata. Sebuah kasus yang sulit, karean Chisso Company, adalah pabrik kimia yang menunjang ekonomi Jepang ketika itu. Di pabrik tsb, diproduksi asetal dehida, dengan cara reaksi gas asetilen dengan merkuri-sulfat. Asetal-dehida diolah lagi untuk menghasilan asam asetat dan PVC. Semua sampah bahan kimia itu, tanpa diolah terlebih dahulu, langsung dibuang ke laut di Teluk Minamata. Dampaknya, teluk Minamata tercemar dan sistem aquatik di sana menimbun sampah kimia dalam rantai makanannya. Di kawasan Teluk Minamata saja ditemukan ribuan penderita kerusakan otak dan saraf tsb. Pada saat dilakukan penelitian epidemiologi, tercatat sudah 17 orang meninggal akibat sindroma penyakit semacam itu. Dari laporan para dokter, diketahui penyakitnya tidak muncul secara tiba-tiba. Gejala penyakitnya muncul bertahap, berupa gangguan gerak motorik, nyeri hebat pada persendian, kaburnya penglihatan, ganguan sensorik, gangguan bicara, mundurnya kemampuan intelektual serta ketidak stabilan emosi. Penelitian lebih lanjut menyimpulkan, terjadinya dampak keracunan dari ikan atau kerang, yang ditangkap di sekitar Teluk Minamata.\

Dihambat pemerintah

Dari dua kasus anak-anak balita, yang diperiksa di pusat kesehatan Minamata, tiba-tiba kasusnya meluas. Patut dicatat, dalam kondisi ekonomi Jepang yang baru bangkit lagi setelah kalah perang, adalah tabu membicarakan kecerobohan pabrik sebesar Chisso. Penelitian para ilmuwan berjalan amat lambat. Pemeriksaan pabrik dihambat oleh pejabat pemerintah. Sementara untuk menyelidiki sedimen limbah pabrik, diperlukan ketelitian dan waktu lama. Para ilmuwan menyimpulkan, para nelayan dan keluarganya di Teluk Minamata keracunan logam berat. Tapi logam berat apa? Berapa dosis berbahayanya? Setelah ujicoba pada binatang dan bedah mayat korban penyakit Minamata, pada tahun1959 dipastikan, bahwa para nelayan dan keluarganya keracunan logam berat Mercury alias air raksa. Setelah dilakukan penelitian lanjutan, pada tahun 1961 Uchida memastikan, senyawa beracunnya adalah keluarga Metyl-Merkuri. Para penderita penyakit Minamata, menunjukan kadar Merkuri antara 200 sampai 500 mikrogram per liter darahnya. Sementara batasan aman menurut WHO adalah antara lima sampai 10 mikrogram Merkuri per liter darah. Publikasi berbagai hasil penelitian itu, memicu kemarahan pemerintah Jepang. Dr. Hosokawa, direktur rumah sakit Minamata, dilarang melanjutkan penelitiannya. Menteri industri dan perdagangan nasional Jepang pada saat itu, Hayato Ikeda mengecam Universitas Kumamoto, karena publikasinya mengenai penyakit Mimamata dinilai membahayakan pertumbuhan ekonomi. Tapi penyakit kerusakan otak dan saraf itu, tidak hanya muncul di Minamata. Juga di kawasan industri Niigata muncul kasus serupa.

Ancaman membesar

Setelah ancamannya membesar, barulah pemerintah Jepang sadar, kebijakan industrinya ternyata merugikan rakyat kecil. Didirikanlah pusat penlitian penyakit Minamata. Para penderita yang masih hidup atau keluarga yang meninggal diberi ganti rugi. Timbunan logam berat Merkuri, ternyata masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Setiap harinya, rata-rata warga Minamata mengkonsumsi sampai 500 gram ikan atau kerang yang ditangkap di perairan tsb. Padahal ikan atau kerang itu, sudah tercemar logam berat Merkuri. Sebagai pemangsa akhir, manusia menimbun logam berat dalam tubuhnya, sampai mencapai kadar memicu sindroma penyakit Minamata dan menimbulkan kematian. Sampai tahun 1990 lalu, biro lingkungan hidup Jepang mencatat 987 korban meninggal dan 2.900 penderita penyakit Minamata yang masih hidup. Sebagai konsekuensinya, pemerintah Jepang memerlukan waktu 15 tahun, untuk membersihkan dan mereklamasi Teluk Minamata dari cemaran logam berat. Akan tetapi, yang juga cukup mencemaskan, jumlah bayi yang lahir dengan kerusakan otak dan saraf tetap tinggi. Penelitian dr. Masazumi Harada pada tahun 1968, menunjukan timbunan logam berat Merkuri ini, diturunkan dari ibu kepada bayinya melalui plasenta. Yang juga menarik, kasus diturunkannya kadar Merkuri dari ibu ke anak, ternyata hanya terjadi di kawasan Minamata. Selain itu, dalam penelitiannya di berbagai negara di seluruh dunia, Harada melaporkan, kasus pencemaran lingkungan oleh logam berat Merkuri terus terjadi. Penelitian di Kanada misalnya, menunjukan, pencemaran pabrik caustic-soda menyebabkan tingginya timbunan logam berat Merkuri pada penduduk asli. Sampel rambut penduduk setempat, menunjukan kadar Merkuri antara 50 sampai 100 ppm. Walaupun pemerintah Kanada mengakui ada pencemaran Merkuri, namun membantah terjadinya sindroma penyakit Minamata. Sementara di Jirin dan Heilong di Cina, pencemaran logam berat dari pabrik asetal-dehida menyebabkan, gejala penyakit Minamata ringan diantara penduduk. Masih banyak kawasan pencemaran logam berat Merkuri yang diteliti Harada, menunjukan munculnya berbagai gejala penyakit Minamata baik ringan maupun berat.