MAKALAH
BIOKIMIA II
METABOLISME
XENOBIOTIK PADA LOGAM (OBAT)
Disusun Oleh :
Nama :Queen
Tri Reski
Nim : RRA1C110019
Angkatan :
2010
Kelas : Mandiri
Dosen
Pengampu :Dra.M.dwi wiwik ernawati.M,Kes
Drs.Haryanto.M,Kes
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JAMBI
2012/2013
KATA PENGANTAR
Atas limpahan dan hidayah Allah
Swt, makalah berjudul METABOLISME XENOBIOTIK
PADA LOGAM (OBAT) dalam matakuliah BIOKIMIA II dapat diselesaikan. Makalah ini didapat dari beberapa buku dan berbagai
sumber lainnya. Adapun pihak dominan dalam pembuatan makalah ini ialah IBu Dra.M.dwi wiwik Ernawati,M.Kes dan Bapak Drs.Haryanto,M.Kes
selaku Dosen Pengampu yang
telah memberikan pengajaran mengenai
Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah, sehingga kami sigap dan mendalami ilmu pelajaran
ini baik penyelesaian tugas maupun pendalaman materi.
Adapun pokok bahasan yang di pelajari dalam makalah ini
adalah : METABOLISME XENOBIOTIK PADA LOGAM (OBAT)
Harapan Penulis, semoga makalah ini berguna bagi kita
semua khususnya mahasiwa yang sedang menjalankan mata kuliah Desain pendidikan,
Oleh karena makalah ini sangat jauh dari sempurna, kritik dan saran semoga
menjadi sumbangsih dalam penulisan makalah selanjutnya.
Jambi, 12 desember 2012
Penulis,
DAFTAR
ISI
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang………………………………………………………………… 1
1.2.Rumusan
Masalah…………………………………………………………….. 3
1.3.Tujuan…………………………………………………………………………. 3
BAB
II ISI
2.1.
Pengertian senyawa Xenobiotik……………………………………………… 4
2.2.
Mengapa Xenobiotik harus di metabolism………………………………….. 5
2.3.
Metabolisme xenobiotik……………………………………………………… 5
2.4.
metabolisme Xenobiotik pada Logam (obat)………………………………. 11
2.5.
Mekanisme Kerja Obat…………………………………………………….. 17
2.5.1. deskripsi sifat kerja obat………………………………………….. 20
2.5.2. mekanisme Kerja Obat……………………………………………. 20
2.5.3. Mula,puncak dan lama kerja
obat……………………………….. 30
2.5.4. Teori Reseptor……………………………………………………. 31
2.5.5. Kadar puncak dan kadar
terendah Obat……………………….. 33
2.5.6. Dosis pembebanan………………………………………………… 34
2.6.
Respons Terhadap metabolisme Xenobiotik……………………………… 40
2.6.1. Matabolik Detoksifikasi………………………………………….. 43
2.6.2. mekanisme Toksitas……………………………………………….. 47
2.6.3. Manistsi Toksisitas…………………………………………………. 50
BAB
III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan…………………………………………………………………… 51
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Xenobiotik berasal dari bahasa Yunani:
Xenos yang artinya asing. Xenobiotik adalah zat asing yang masuk dalam tubuh
manusia. Contoh: obat obatan, insektisida, zat kimia tambahan pada makanan
(pemanis, pewarna, pengawet) dan zat karsinogen lainya. Xenobiotik umumnya
tidak larut air, sehingga kalau masuk tubuh tidak dapat diekskresi. Untuk dapat
diekskresi xenobiotik harus dimetabolisme menjadi zat yang larut, sehingga bisa
diekskresi. Organ yang paaling berperan dalam metabolisme xenobiotik adalah
hati. Ekskresi xenobiotik melalui empedu dan urine. Pada metabolisme obat, pada
obat yang sudah aktif → metabolisme xenobiotik fase 1 berfungsi mengubah obat
aktif menjadi inaktif, sedang paa obat yang belum aktif → metabolisme xenobiotik
fase 1 berfungsi mengubah obat inaktif menjadi aktif
Kekuatan
pendorong dalam evolusi sistem detoksifikasi metabolisme canggih sebenarnya
cukup lurus ke depan dan tergantung pada kemampuan air untuk bertindak sebagai
"pelarut" untuk melarutkan zat. Karena
membran seluler terutama lipid berbasis dan kedap larut air yang paling
(ilmiah: "kutub") zat, pengangkutan larut dalam air senyawa ke dalam
sel memerlukan protein transportasi khusus. Dengan menempatkan protein
transport yang sesuai pada membran sel, sel hanya akan memungkinkan diinginkan
larut dalam air molekul untuk masuk, dan akan mencegah masuknya air-larut
racun. Ini paradigma yang sama juga berlaku ketika sel perlu
mengeluarkan senyawa larut dalam air yang tidak diinginkan (seperti limbah selular),
mereka keluar dari sel dengan mekanisme yang serupa.
Berbeda dengan senyawa yang larut
dalam air, membran sel lipid menyajikan penghalang sedikit lipid-larut senyawa,
yang bebas bisa dilewati. Berpotensi merusak lipid-larut racun sehingga dapat
memperoleh akses gratis ke interior seluler, dan jauh lebih sulit untuk
menghapus. Sistem detoksifikasi
metabolisme mengatasi masalah ini dengan mengubah lipid-larut racun ke aktif
larut dalam air metabolit. The
"solubilisasi" dari racun dicapai oleh enzim yang melekat (konjugasi)
tambahan yang larut dalam air molekul terhadap toksin larut lipid pada
titik-titik lampiran tertentu. Jika racun tidak mengandung salah satu titik
sambungan, mereka pertama kali ditambahkan oleh satu set terpisah enzim yang mengubah
kimia racun untuk menyertakan "menangani" molekul. Setelah reaksi
solubilisasi, toksin kimia-dimodifikasi diangkut keluar dari sel dan
dikeluarkan. Ketiga langkah atau fase menghilangkan yang tidak diinginkan atau
berbahaya lipid-larut senyawa yang dilakukan oleh tiga set protein seluler atau
enzim, disebut fase I (transformasi) dan fase II (konjugasi) enzim, dan tahap
III (transportasi) protein.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Apa
itu Senyawa Senobiotik…?
2. Mengapa
Senyawa Senobiotik di metabolisme….?
3. Bagaimana
Proses metabolisme senyawa senobiotik pada logam…?
4. Apa
dampak senobiotik bagi kesehatan….?
1.3.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui Apa itu senyawa senobiotik
2. Untuk
mengetahui mengapa senobiotik itu harus di metabolisme
3. Untuk
mengetahui proses senobiotik pada logam
4. Untuk
Mengetahui dampak senobiotik bagi kesehatan
BAB
II
ISI
2.1.
Pengertian Senyawa Senobiotik
Xenobiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Xenos yang arti
nya zat asing.
Zat
Senobiotik merupakan senyawa yang asing bagi tubuh. Kelompok utama zat-zat
senobiotik yang mempunyai relevansi medik adalah obat-obatan,zat –zat
karsinogen kimia serta berbagai senyawa yang telah memasuki lingkungan
kehidupan kita melalui salah satu jalan,seperti senyawa-senyawa bifenil
Polikrolinasi (PCB) dan insektisida tertentu.sebagian besar senyawa ini akan
mengalami metabolism (perubahan kimiawi) dalam tubuh manusia dan hati menjadi
organ tubuh yang terutama terlibat dalam peristiwa ini.kadang-kadang zat
senobiotik dapat diekskresikan tanpa perubahan.Tujuan metabolism zat-zat
senobiotik adalah untuk meningkatkan kelarutannya dalam air (polaritas) dan
dengan demikian memudahkan eksresinya dari dalam tubuh.
Contoh: obat obatan, insektisida,
zat kimia tambahan pada makanan (pemanis, pewarna, pengawet) dan zat biotikkarsinogen
lainya.
Dalam kehidupan sehari-hari tubuh
manusia dapat terpapar oleh ribuan senobiotik yang setiap xenobiotik dapat
menimbulkan efek toksik.saat sarapan pagi dirumah mungkin kita mengkonsumsi
makanan yang mengandung bahan pengawet,pewarna atau penyedap rasa. Ketika kita
di jalan menuju tempat kuliah dan tempat kerja mungkin kita menghirup udara
yang penuh dengan polutan rokok sendiri atau teman kerja. Kedua, kemungkinan
timbulnya efek toksik yang diakibatkan oleh paparan xenobiotik belum disikapi
secara benar baik oleh mereka yang bekerja dibidang kesehatan terlebih lagi
orang awam. Kasus formalin dalam makanan mendapat tanggapan yang gegap
gempita,sedangkan tercemarnya udara perkotaan dan air tanah permukiman serta
pemakaian obat-obatan yang irrasional menjadi fenomena biasa.
2.2.
Mengapa Senobiotik harus di Metabolisme
- Xenobiotik umumnya tidak larut air, sehingga jika masuk tubuh tidak dapat diekskresi
- Untuk dapat diekskresi xenobiotik harus dimetabolisme menjadi zat yang larut, sehingga bisa diekskresi
- Organ yang paaling berperan dalam metabolisme xenobiotik adalah hati
- Ekskresi xenobiotik melalui empedu dan urine
2.3. Metabolisme xenobiotik
Kasus ditemukan
nya formalin dalam makanan yang diberitakan pada banyak media masa beberapa waktu
lalu,bukanlah kasus baru.lagi pula formalin bukanlah satu-satunya senobiotik
yang ditemukan dalam makanan. Bahan pewarna tekstil seperti rodhamin B dan
amaranth,residu peptisida golongan karbofular dan cemaran logam berat juga
pernah dilaporkan ditemukan dalam produk-produk bahan makanan dan minuman yang
beredar di beberapa daerah di Indonesia. Selain senobiotik di dalam makanan,
sangat senyawa kimia yang dapat membahayakan kesehatan apabila dikonsumsi dan
masuk ke dalam tubuh.asap rokok dan asap pembakaran sampah mengandung
benzoa(a)piren yang sangat karsinogenik. Didalam asap kendaraan bermotor
mengandung gas karbon monoksida yang sangat berbahaya bagi kesehatan.demikian
pula sisa peptisida dan insektisida yang digunakan untuk bebrbagai keperluan tentu
bukan bahan kimia yang baik untuk kesehatan. Penyedap rasa,monosodium
glutamate, dan pemanis buatan seperti sakarin,siklamat dan aspartam. Walaupun
diperbolehkan untuk bahan makanan diduga dapat menginduksi pertumbuhan
tumor.obat-obatan yang sering kita konsumsi untuk penyembuhan penyakit tertentu
adakalanya menimbulkan efek samping atau efek toksik yang serius. Thalidomin
yang semula diproduksi dan diterima sebagai sdatif (obat penenang) ternyata
bersifat teratogenik (menyebabkan cacat pada janin), sehingga akhirnya obat
tersebut dilarang beredar dipasaran.
Dalam
keseharian tubuh manusia dapat terpapar beribu-ribu senobiotik mengingat
senyawa asing yang diketahui manusia jumlahnya lebih dari 100.000 macam.
Adakalanya kita secara sengaja mengkonsumsi senobiotik seperti obat obatan, insektisida, zat kimia
tambahan pada makanan (pemanis, pewarna, pengawet) dan zat biotikkarsinogen
lainya.walaupun tidak disertai kesadaran dan pengetunahuan yang memadai akan
akibat buruk yang mungkin timbul. Sedang secara terus-menerus tanpa bermaksud
untuk mengkonsumsi tubuh dapat terpapar xenobiotik yang ada dilingkungan baik
diudara,air maupun daratan seperti gas karbon monoksid,
benzo(a)piren,logam-logam berat dari asap buang kendaraan bermotor dan
bahan-bahan pencemar lingkungan lainnya. Senyawa senobiotik tersebut masuk
kedalam tubuh dapat melalui mulut (per-oral) seperti makanan dan obat-obatan,atau
karena terhirup atau dihirup pernafasan (per inhalasi)seperti asap rokok dan
asap kendaraan atau lewat kontak dengan kulit (per cutan/transdermal)seperti
dijumpai dalam beberapa kasus keracuna pestisida pada petani.
Apabila xenobiotik ini masuk ke
tubuh manusia (dan juga hewan),tubuh mempunyai mekanisme untuk mengendalikan
keberadaan xenobiotik tersebut sehingga aman bagi tubuh.xenoiotik yang masuk
kedalam tubuh umumnya melalui proses absorpsi akan sampai ke aliran darah,di
distribusi ke seluruh tubuh dan kemudian di eliminasi.proses eliminasi adalah
usaha untuk menghilangkan aktivitas dan keberadaan xenobiotik di dalam tubuh. Eliminasi
meliputi metabolisme/biotransformasi dan ekskresi. Metabolisme atau sendir
biotransformasi adalah perubahan kimiawi oleh pengaruh tubuh organisme,
sedangkan ekskresi adalah proses pembuangan xenobiotik dari dalam tubuh. Proses
adsorpsi, distribusi dan eliminasi ini pada umumnya melibatkan proses
penembusan membrane biologis.seperti diketahui bahwa membrane biologis tersusun
atas lapisan kompleks yang bersifat polar dan non polar.oleh karena nya proses
penembusan membrane tersebut juga tidak terlepas dari hokum-hukum fisikokimia
yang berlaku terhadap xenobiotikdan bahan penyusun membrane itu sendiri,seperti
derajat ionisasi,kelarutan dalam lemak,koefisien partisi lemak/air,ketersediaan
system transport spesifik,ukuran diameter pori membrane serta kompleksitas
matriks penyusun membrane.
Didalam
tubuh,xenobiotik umumnya memberikan pengaruh pada system dan fungsi normal
tubuh. Pengaruh itu dapat berupa sesuatu yang diharapkan, misalnya efek
terapetik obat (efek untuk penyembuhan penyakit atau menghilangkan gejala
penyakit), atau pengaruh yang tidak diharapkan,seperti efek samping atau efek
toksik. Melalui proses metabolism dan proses ekskresi tubuh mampu menghilangkan
semua pengaruh yang timbul. Telah lama diketahui bahwa karena sifatnya yang
suka lemak ada banyak xenobiotik tidak akan dikeluarkan dari dalam tubuh
apabila tidak didahului proses perubahan struktur kimia melalui metabolism. Sebagai
contoh, pentobarbital diperkirakan akan tinggal di dalam tubuh selama 100 tahun
manakala tidak mengalami proses metabolism/biotransformasi.oleh karenanya
metabolism memegang arti penting dalam proses eliminasi xenobiotik.
Ada
perbedaan antara metablisme nutrisi dan metabolism xenobiotik. Metabolism
nutrisi terjadi untuk keperluan proses normal sel. Proses ini menghasilkan
senyawa fungsional dan energy kimia yang dibutuhkan oleh sel serta dalam
langkah-langkah tertentu menghasilkan limbah metabolik.metabolisme xenobik
bertujuan untuk mengeliminasi keberadaan xenobiotik di dalam tubuh. Dalam
metabolism xenobiotik tidak pernah disertai produksi energi.
Xenobiotik
di dalam tubuh dapat mengalami berbagai macam reaksi metabolism yang dapat di
golongkan menjadi dua yaitu reaksi fase 1 dan reaksi fase 2. Reaksi fase 1
adalah non-sintetik,merupakan pembentukan gugus fungsional ataupun perubahan
gugus fungsional yang sudah ada pada molekul xenobiotik. Reaksi non sintetik
ini meliputi reaksi oksidasi,reduksi dan hidrolisis. Sebagai contoh
hidroksilasi senyawa aromatic atau senyawa altik serta epoksidasi ikatan
rangkap merupakan reaksi oksidasi pembentukan gugus fungsional. Sedangkan
reaksi nitro,dealkilasi dan hidrolisis ester merupakan reaksi perubahan gugus
fungsional yang sudah ada. Gugus fungsional di maksudkan untuk mengalami reaksi
metabolic lanjutan berupa konjugasi dengan senyawa endogen atau berinteraksi
dengan reseptor untuk menimbulkan efek. (Williams,2002). Reaksi oksidasi yang
merupakan 90 % reaksi metabolism fase 1, dikatalis oleh system enzim
mikrosomal.sistem enzim ini dikenal pula sebagai mixed function oxydase system
(MFO)dengan sitokrom P450,suatu superfamily enzim hemoprotein,sebagai komponen
utamanya (lewis et al.,1998)
Reaksi
fase 2 merupakan reaksi sintetik atau konjugasi. Reaksi ini merupakan
penggabungan antara molekul xenobiotik,atau metabolit yang terbentuk dari
reaksi fase 1, pada gugus fungsionalnya dengan senyawa endogen. Reaksi sintetik
meliputi reaksi glukuronidasi,sulfatasi,konjugasi dengan asam
amino,asetilasi,konjugasi dengan glutation dan mtilasi. Reaksi fase 2 ini
umumnya di katalisis oleh enzim-enzim sitosolik kecuali reaksi glukuronidasi.
Pada
reaksi glukuronidasi membutuhkan asam uridil 5’-difosfoglukuronat (UDPGA) untuk
membentuk konjugat glukuronat, reaksi sulfatasi untuk pembentukan konjugat
sulfat membutuhkan 3’-fosfoadenosin-5’fosfosulfat (PAPS), pembentukan konjugat
glutation(menjadi konjugat asam merkapturat(tioester) membutuhkan glutation
tereduksi (GSH),sedang asilasi membutuhkan koenzim A. pada umumnya konjugasi
dengan senyawa endogen berakibat hilangnya aktivitas biologis xenobiotik.
Disamping tidak mempunyai aktivitas biologis semua hasil reaksi fase 2 adalah
metabolit yang mudah terionisasi pada PH fisiologis,kecuali konjugat
metil,sehingga lebih mudah larut di dalam air yang mengakibatkan mudah
dikeluarkan dari dalam tubuh. Ada beberapa reaksi sintetik yang tidak umum yang hanya terjadi pada gugus
senyawa tertentu, seperti pembentukan hidrazon pada biotransformasi m dan
hidratasi epoksid membentuk dihidrodiol. Metabolit ini tidak terionisasi pada
PH fisiologis (sheweita,2000).
Metabolisme
xenobiotik dapat terjadi baik di dalam hepar maupun di jaringan-jaringan eksta
hepatic seperti paru,ginjal dan mukosa saluran pencernaan.kapasitas metabolic
tertinggi ada di hepar.paru,ginjal dan mukosa saluran pencernaan mempunyai
kapasitas metabolic sedang dan kapasitas metabolic terendah terjadi di
kulit,testis dan plasenta.
Metabolism
xenobiotik umunya terjadi dalam beberapa langkah reaksi kimia yang berurutan
atau simultan. Parasetamol,sebuah analgenik-antiseptik yang sangat lazim,
didalam tubuh secara simultan akan mengalami reaksi glukuronidasi menjadi
parasetamol-glukuronat, reaksi sulfatasi menjadi parasetamol sulfat serta
mengalami reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi ini kemudian diikuti oleh reaksi
konjugasi dengan glutation dan reaksi-reaksi ikutan selanjutnya membentuk
konjugat merkapturat,Amfetamin,stimulansia syaraf pusat, di dalam tubuh kelinci akan
teroksidasi pada rantai samping,didalam tubuh manusia,mencit,marmot dan anjing
mengalami hidroksilasi menjadi asam benzoate, sedangkan dalam tubuh tikus
mengalami hidroksilasi cincin aromatic.
Insektisida
malation dalam tubuh nyamuk mengalami desulfurasi oksidatif menjadi malaokson
yang lebih toksik,sedangkan pada tubuh mamalia, senyawa ini akan mengalami
hidolisis menjadi asam dikarboksilat kemudian terkonjugasi dengan glukuronat
menghasilkan metabolic yang inaktif. Benzo(a)piren yang terhisap dari asap
rokok berturut-turut akan terepoksidasi menjadi benzo(a)piren-epoksid,terhidrasi
menjadi dihidrodiol,terkonjugasi dengan sulfat membentuk benzo(a)piren sulfat. Metabolit
dihidrodiol yang terbentuk teroksidasi kembali menjadi senyawa reaktif
dihidrodiol epoksid yang dipercaya mampu menginisiasi proses terjadinya kanker
(karsinogenesis). Dihidrodiol epoksid ini kemudian terhidrasi menjadi tetrol
atau tersusun ulang menjadi triol yang akan diekskresikan
(Selkirk,1980;timbrell,1991).
Selama
kapasitas tubuh(sel) tidak terlampaui maka semua matabolit yang terbentuk akan
bersifat aman bagi kehidupan dan segera dikeluarkan dari dalam tubuh. Akan
tetapi keadaan tersebut sering terlampaui, sebagai contoh, mengkonsumsi 20
tablet parasetamol sekaligus (setara dengan 1 gram parasetamol) dapat
mengakibatkan kematian, karena kerusakan hepar (hepatotoksik) yang massif dan
tak terbalikkan (irreversible). Seorang perokok berat dapat terkena kanker
paru. Petani yang menyeprotkan pestisida organofosfat untuk membasmi hama
tanaman tiba-tiba dapat keracunan.
2.4. METABOLISME XENOBIOTIK PADA LOGAM
Metabolisme
obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme hidup, pada
umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat merupakan
salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat
farmakologis obat.
Metabolisme obat sebagian besar
terjadi di retikulum endoplasma sel-sel hati. Selain itu, metabolisme obat juga
terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan, paru-paru, ginjal, dan
kulit.
Terdapat
2 fase metabolisme obat, yakni fase I dan II. Pada reaksi-reaksi ini, senyawa
yang kurang polar akan dimodifikasi menjadi senyawa metabolit yang lebih polar.
Proses ini dapat menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat.
REAKSI FASE I
Reaksi fase I, disebut juga reaksi
nonsintetik, terjadi melalui reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis,
siklikasi, dan desiklikasi. Reaksi oksidasi terjadi bila ada penambahan atom
oksigen atau penghilangan hidrogen secara enzimatik. Biasanya reaksi oksidasi
ini melibatkan sitokrom P450 monooksigenase (CYP), NADPH, dan oksigen.
Obat-obat yang dimetabolisme menggunakan metode ini antara lain golongan
fenotiazin, parasetamol, dan steroid.
Reaksi Oksidasi (Rx. Fase I)
·
sebagian besar terjadi di retikulum
endoplasmik
·
bisa juga dikatalis di sitosol
atopun mitokondria
- Reaksi Fase II
·
umumnya terjadi di sitosol, kecuali
rx. Glukoronidasi
-
Jalur metabolisme obat dalam Hepar
Rx. Fase I = Rx fase non sintetik atau fungsionalisasi.
·
Membuat obat jadi lebih polar dengan
memasukkan / menghilangkan gugus fungsional.
·
meningkatkan aktifitas biologis
·
membentuk gugus yang reaktif terhadap
enzim2 pada Rx. Fase II
Rx.
Oksidasi
- melibatkan oksigenase,
monooksigenase, dioksigenase
- Oksigenase : oksidasi terjadi
melalui penarikan hidrogen atau elektron.
Reaksi antara Xenobiotik dan seny.
Endogen (As lemak, kolesterol, hormon steroid) dikatalisis Enzim Mikrosom Hepar,
Mukosa Usus, dan jaringan lain.
- Monooksigenase : 1 atom oksigen
dari O2 diikat pada xenobiotik, lalu direduksi jadi air.
mengandung
sitokrom P-450 dan P-448 (protein Hem). Istilah ini dipakai karena terjadi
absorpsi kuat dari cahaya pada panjang gelombang 450 dan 448 nm setelah reduksi
Na-ditionit dan penyeimbangan dengan CO.
- Dioksigenase : memasukkan dua atom
oksigen dari O2 ke dalam xenobiotika.
Rx. Oksidasi meliputi:
1.
Hidroksilasi
Satu atom O berikatan dengan atom2
C, N, S dari molekul obat.
Katalis: enzim retikulum endoplasmik
hepar (MFO = mixed function oxidases system)
Melibatkan sitokrom P-450 dan reduktase-NADPH-sitokrom-C.
2.
Desulfurasi
Penggantian atom S dengan O akibat
adanya oksigen pada turunan tio (tio-urea, tiosemikarbon, organo-fosfor).
3.
Dehalogenasi
membutuhkan oksigen molekular dan NADPH.
Misal pada Halotan (anestetik)
mengalami deklorinasi oksidatif dan debrominasi untuk menghasilkan alkohol atau
asam yang sesuai.
4.
Pembentukan Oksida
Ada dua macam:
a. Oksidasi N-
- Penambahan atom O pada N-.
- Mikrosom hati + O2 + NADPH –>
oksida N
- Pada oksidasi metabolik amina akan
menghasilkan:
·
turunan Hidroksilamin untuk amina
primer dan sekunder
·
oksida amin untuk amina tersier
b. Oksidasi S-
- Pengikatan 1 ato 2 atom O pada
sulfur (S)
- Mengubah bentuk Sulfur Alifatik
ato Aromatik jadi Sulfoksida dan Sulfonat yang lebih polar dan lebih larut
5.
Dealkilasi
Peniadaan radikal yang mula2 terikat
pada atom oksigen, nitrogen, dan sulfur.
Ada 3 macam: Dealkilasi N-, Dealkilasi
O-, Dealkilasi S-
Rx.
Reduksi
dibanding oksidasi, hanya memegang
peranan kecil
contoh:
·
Karbonil direduksi jadi alkohol
enzim: alkohol dehidrogenase
·
Senyawa azo jadi amina primer
melalui tahap antara hidrazo
enzim: NADPH-sitokrom P-450
reduktase, NADPH-sitokrom e-reduktase
Rx.
Hidrolisis
terdiri dari:
1. Hidrolisis ester dan amida oleh esterase
(amidase)
- Hidrolisis ester lebih cenderung
terjadi di plasma dibanding di hati karena plasma mengandung esterase yang lebih
banyak
- Ester terlindung secara sterik,
jadi proses hidrolisis berjalan lambat
- Amida lebih stabil dari ester dan
lebih mungkin dihidrolisis oleh amidase hati
karena itu ester dan amida
kemungkinan besar di ekskresikan tanpa berubah dalam air kemih.
REAKSI FASE II
Reaksi fase II, disebut pula reaksi
konjugasi, biasanya merupakan reaksi detoksikasi dan melibatkan gugus
fungsional polar metabolit fase I, yakni gugus karboksil (-COOH), hidroksil
(-OH), dan amino (NH2), yang terjadi melalui reaksi metilasi, asetilasi,
sulfasi, dan glukoronidasi. Reaksi fase II akan meningkatkan berat molekul
senyawa obat, dan menghasilkan produk yang tidak aktif. Hal ini merupakan kebalikan
dari reaksi metabolisme obat pada fase I.
·
Konjugasi: Rx. biosintesis dengan penempelan
Seny. Endogen (as. glukoronat, gugus sulfat, metil, asetil)
·
Untuk bisa konjugasi harus punya
gugus aktif
·
Kalo gak punya gugus aktif ato obat
sangat larut lipid, maka akan mengalami Biotransformasi (Rx. Fase I: oksidasi,
reduksi, hidrolisis) lebih dulu.
-
Glukoronidasi (Konjugasi dengan Glukoronat)
Koenzim
antara (UDPGA : uridine diphosphoglucorinic acid) bereaksi dengan obat
dengan bantuan enzim UDP-glukoronosil-transferase (UGT) untuk memindahkan
glukoronida ke atom O pada alkohol, fenol, atau asam karboksilat; atau atom S
pada senyawa tiol; atau atom N pada senyawa2 amina dan sulfonamida.
Secara skematis:
Konjugasi dengan Asam Amino (ex: Glisin & Glutamin)
Reaksi antara Obat yang dah punya gugus Karboksilat dan dah diaktivasi koenzim-A dengan Seny. Endogen yang punya gugus aminoKonjugasi dengan Glutation (pembentukan Asam Merkapturat)
Epoksida atau aren oksida yang sangat reaktif bereaksi dengan Glutation, kemudian dimetabolisir lebih lanjut menjadi As. Merkapturat (non toksik)
2.5. MEKANISME KERJA OBAT
A. FASE/NASIB
OBAT DALAM TUBUH
1.FASE ABSORPSI
·
FAKTORNYA KELARUTAN
OBAT: CAIR – PADAT
·
KEMAMPUANBERDIF.MELINTASIMEMB.SEL:KELARUTAN
·
KADAR/KONSENTRASI:
TINGGI – RENDAH
·
SIRKULASI DARAH:
INTENSIF – KURANG INTENSI
·
LUAS PERMUKAAN KONTAK OBAT
·
UKURAN
PARTIKEL BENTUK SEDIAAN OBAT
·
RUTE PEMBERIAN
OBAT
2.FASE DISTRIBUSI : DIDIST.
·
ALIRAN DARAH, SIFAT FISIKOKIMIAWI OBAT,
·
IKATAN DG. PROTEIN PLASMA
3. FASE PENGIKATAN OBAT: TERJADI EFEK
FARMAKOLOGIS
4.FASE ELIMINASI/METABOLISME EKSKRESI DALAM BENTUK UTUH ATAU DIMETABOLISME,
·
MOLEKUL DIBUAT LEBIH POLAR, IK.
·
PROTEIN LEBIH KECIL,
·
KURANG LARUT LEMAK SHG MDH MELINTASI GINJAL
2.5.1. DESKRIPSI SIFAT KERJA OBAT
Obat
bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Sebuah obat tidak
menciptakan suatu fungsi di dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi mengubah
fungsi fisiologis. Obat dapat melindungi sel dari pengaruh agents kimia lain,
meningkatkan fungsi sel, atau mempercepat atau memperlambat proses kerja sel.
Obat dapat menggantikan zat tubuh yang hilang (contoh, insulin, hormon tiroid,
atau estrogen).
2.5.2. MEKANISME KERJA OBAT
Obat
menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau dengan
beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat mengubah zat
kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung).
Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan membran sel. Setelah
sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang
paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek
obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia
yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya.
Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap
jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang unik.
Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons pada preparat
digitalis.
Suatu
obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi),
farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase
farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane
biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular, atau
intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu
farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase):absorpsi, distribusi,
metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik,
atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.
- A. Fase Farmasetik (Disolusi)
Sekitar
80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik(disolusi) adalah
fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu
dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil)
harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke
dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak
100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam yang
dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu
dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat sperti ion
kalium (K)dan natrium (Na)dalam kalium penisilin dan natrium penisilin,
meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk diabsorbsi
dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan
kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorbsi.
Disintegrasi
adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil,
dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam
cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang
dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk
diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap
oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya,
obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan
asam yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua
mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya absorpsi
obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui lambung.
Obat-obat
dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat disintegrasi oleh asam
lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada dalam suasana basa
di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di dalam lambung untuk
jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat demikian kurang efektif
atau efek mulanya menjadi lambat.
Makanan
dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran dan absorpsi
obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan
atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
- B. Fase Farmakokinetik
Farmakokinetik
adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai tempat kerjanya,
dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan perawat menggunakan
pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat, memilih rute pemberian
obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan mengobservasi respons klien.Empat
proses yang termasuk di dalamnya adalah : absorpsi, distribusi, metabolism
(biotransformasi), dan ekskresi(eliminasi).
- Absorpsi
Absorpsi
adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi dari saluran
gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif, absorpsi aktif,
rinositosis atau pinositosis.
Absorpsi
aktif umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa untuk
bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran
dengan proses menelan.
Absorpsi
obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH.
Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit yang
merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas,
dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih
lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan
mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi
ke saluran gastrointestinal.
Faktor-faktor
lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute pemberian obat, daya
larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.
Setiap
rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat,
bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat
ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan
saluran nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa
dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus
melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara
keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat
karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Daya
larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada bentuk
atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam bentuk
cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul. Bentuk dosis
padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi
lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat.
Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.
Kondisi
di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah diabsorpsi. Obat
topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh efek lokal dapat menimbulkan
reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit. Adanya edema pada
membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu yang
lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah. Absorpsi obat parenteral yang
diberikan bergantung pada suplai darah dalam jaringan.Sebelum memberikan sebuah
obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji adanya faktor lokal, misalnya;
edema, memar, atau jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan absorpsi
obat. Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan
subkutan (SC), obat yang diberikan per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi
lebih cepat daripada obat yang disuntikan per subkutan. Pada beberapa kasus,
absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat
bertahan lama. Apabila perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok
sirkulasi, rute pemberian obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian
obat intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.
Obat
oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Saat lambung
terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum, sehingga
absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida membuat obat berikatan
membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna. Contoh,
susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat
peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan. Selubung
enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat
tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas. Selubung juga
melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.
Rute
pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan. Perawat dapat
meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan
pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet maka
perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan
tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu
perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran cerna
dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran cerna.
Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus
mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan. Contohnya,
obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi
saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan.
Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya kloksasilin
natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan
satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan.
Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan,
informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai
interaksi obat dan nutrien.
- Distribusi
Distribusi
adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan
tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika sirkulasi),
afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan komposisi badan,
dan efek pengikatan dengan protein.
- Dinamika Sirkulasi
Obat
lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang intravaskuler daripada
di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat ditembus oleh kebanyakan zat
yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat yang besar atau berikatan dengan
protein serum. Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat tertentu bergantung
pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat vasodilasi atau
vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah jaringan. Latihan
fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah sirkulasi lokal.
Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat suntikan intramuskular,
akan terjadi vasodilatasi yang meningkatkan distribusi obat.
Membran
biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier darah-otak
hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke dalam otak dan cairan
serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat perlu ditangani dengan antibiotik
yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula spinalis. Klien lansia
dapat menderita efek samping (misalnya konfusi) akibat perubahan permeabilitas
barier darah-otak karena masuknya obat larut lemak ke dalam otak lebih mudah.
Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap obat. Agens yang
larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat menembus plasenta dan
membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk), depresi pernafasan, dan
pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat. Wanita perlu mengetahui
bahaya penggunaan obat selama masa hamil.
- Berat dan Komposisi Badan
Ada
hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh
tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat dan
komposisi tubuh dewasa. Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi
obat secara bermakna. Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada klien lansia.
Karena penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut
dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya meningkat di
dalam darah klien lansia. Peningkatan persentase leak tubuh secara umum
ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat menjadi lebih lama karena
distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat. Semakin kecil berat badan klien,
semakin besar konsentrasi obat di dalam cairan tubuhnya, dan dan efek obat yang
dihasilkan makin kuat. Lansia mengalami penurunan massa jaringan tubuh dan
tinggi badan dan seringkali memerlukan dosis obat yang lebih rendah daripada
klien yang lebih muda.
- Ikatan Protein
Ketika
obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan dengan protein
(terutama albumin). Dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Salah satu
contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazeipam (valium)
yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan
termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan
bersifat inaktif,dan bagian obat selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja
bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan proteinyang
bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik.
Kadar
protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein,
sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal
ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat
berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.
Seorang
perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien
karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan
dengan protein sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi.
Tergantung dari obat yang diberikan akibat hal ini dapat mengancam nyawa.Abses,
aksudat, kelenjar dan tumor juga menggangu distribusi obat, antibiotika tidak
dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu,
beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang,
hati, mata dan otot.
- Metabolisme Atau Biotransformasi
Hati
merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat diinaktifkan oleh
enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit inaktif atau zat yang
larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat ditransformasikan
menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik,
penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisme
obat.
Waktu
paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan
oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi, metabolisme dan eliminasi
mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau
ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat
dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus – menerus, maka
dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu
obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu
dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram) dan waktu
paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk waktu paruh pertama untuk
mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9 atau 6jam untuk mengeliminasi
162mg berikutnya, dan seterusnya sampai pada waktu paruh keenam atau 18jam
dimana tinggal 10mg aspirin terdapat dalam tubuh, waktu paruh selama 4-8jam
dianggap singkat, dan 24jam atau lebih dianggap panjang. Jika obat memiliki
waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan beberapa hari
agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu paruh obat juga
dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses
farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
- EkskresiAtau Eliminasi
Rute
utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas yang
tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat
dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH
urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin
yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin,
suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika seseorang
meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk
mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat
menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.
- C. Fase Farmakodinamik
Farmakodinamik
mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme
kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi primer atau sekunder
atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder
bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek
primer dan sekunder adalah difenhidramin (benadryl) suatu antihistamin. Efek
primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek
sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk.
Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada
saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.
2.5.3. MULA, PUNCAK, DAN LAMA KERJA OBAT
Mula
kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai konsentrasi
efektif minimum ( MEC = minimum effective concertration ). Puncak kerja terjadi
pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama
kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis. Beberapa obat
menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu
beberapa hari atau jam. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja
obat; mula kerja obat, puncak kerja, dan lama kerja.
Perlu
untuk memahami hubungan antara respons-waktu dengan pemberian obat, jika kadar
obat dalam plasma atau serum menurun dibawah ambang atau MEC, maka ini berarti
dosis obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas.
2.5.4. TEORI RESEPTOR
Kebanyakan
reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel. Obat-obat yang
bekerja melalui reseptor, dengan berikatan dengan reseptor maka akan
menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon. Aktivitas dari
kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor
spesifik. Semakin baik suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat
tersebut semakin aktif secara biologis. Ini serupa dengan memasukkan kunci yang
tepat ke dalam lubang kunci. Obat-obat yang menghasilkan respons disebut
agonis,dan obat-obat yang menghambat respons disebut antagonis. Hampir semua
obat, agonis dan antagonis, kurang mempunyai efek spesifik dan selektif. Sebuah
reseptor yang terdapat ditempat-tempat berbeda dalam tubuh menghasilkan
bermacam-macam respons fisiologis, tergantung dimana reseptor itu berada.
Reseptor-reseptor kolinergik terdapat dikandung kemih, jantung, pembuluh darah,
paru-paru, dan mata.
Sebuah
obat yang merangsang atau menghambat reseptor-reseptor koligernik akan bekerja
pada semua letak anatomis, obat-obat yang bekerja pada berbagai tempat seperti
itu dianggap sebagai nonspesifik atau memiliki nonspesifitas. Betanekol dapat
diresepkan utuk retensi urin pascabedah untuk meningkatkan kontraksi kandung
kemih. Karena betanekol mempengaruhi reseptor koligernik, maka tempat
koligernik lain ikut terpengaruh denyut jantung menurun, tekanan darah menurun,
sekresi asam lambung meingkat, bronkiolus menyempit, dan pupil mata mengecil.
Efek – efek lain ini mungkin diinginkan mungkin juga tidak, dan mungkin
berbahaya atau mungkin juga tidak berbahaya bagi pasien. Obat-obat yang
menimbulkan berbagai respons di seluruh tubuh ini memiliki respons yang
nonspesifik.
Obat-obat
juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi
berbagai reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi berbagai reseptor
disebut nonselektif atau memiliki nonselektifitas. Obat-obat yang menghasilkan
respons tetapi tidak bekerja pada reseptor dapat berfungsi dengan merangsang
aktivitas enzim atau produksi hormon.
Empat
kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian,
pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi. Kerja obat yang merangsang
akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari
kelenjar. Obat-obat yang menekan akan menurunkan aktivitas sel dan mengurangi
fungsi organ tertentu. Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan
senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh
organisme menghambat pertumbuhan sel bakteria. Penisilin mengadakan efek
bakterisidanya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga
dapat bekerja melalui mekanisme iritasi laksatif dapat mengiritasi dinding
kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan peristaltik dan defekasi..
Kerja
obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama kerja
tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang
penting untuk menentukan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis
obat. Obat-obat dalam waktu paruh pendek, seperti penisilin G ( t 1/2 –nya 2
jam ), diberikan beberapa kali sehari, obat-obat dengan waktu paruh panjang,
seperti digoksin (36jam), diberikan sekali sehari, jika sebuah obat dengan
waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi
penimbunan obat didalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksitas obat, jika
terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam
hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan
toksisitas obat.
2.5.5. KADAR PUNCAK DAN KADAR TERENDAH OBAT
Kadar
puncak obata dalah konsentrasi plasma tertinggi dari sebuah obat pada waktu
tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin 1 sampai 3
jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar
puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit. Sampel darah harus diambil pada waktu
puncak yang dianjurkan sesuai dengan rute pemberian.
Kadar
terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukan
kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat
diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral atau intravena. Kadar
puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu obat, dan kadar terendah menunjukkan
kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan terendah dibutuhkan obat-obat
yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap toksik, seperti
amininoglokosida (antibiotika). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka
toksisitas akan terjadi.
2.5.6. DOSIS PEMBEBANAN
Jika
ingin didapatkan efek obat segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai
dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat
dalam plasma. Setelah dosis awal yang besar, maka diberikaan dosis sesuai dengan
resep per hari. Diagksin, suatu preparat digitalis, membutuhkan dosis
pembebanan pada saat pertama kali diresepkan. Digitalis adalah istilah yang
dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam waktu yang
singkat.
Karena
struktur kimia dan kerja fisiologisnya, sebuah obat dapat menghasilkan lebih
dari satu efek.
- Efek terapeutik
Merupakan
respon fisiologis obat yang diharapkan atau yang diperkirakan timbul. Setiap
obat yang diprogramkan memiliki efek terapeutik yang diinginkan. Contoh,
perawat memberi kodein fosfat untuk menciptakan efek analgesik dan memberi
teofilin untuk medilatasi bronkiolus pernapasan yang menyempit. Pengobatan
tunggal dapat menghasilkan banyak efek yang terapeutik. Contoh, aspirin
berfungsi sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi, dan menurunkan
agregasi (gumpalan) trombosit.
- Efek Samping
Efek
samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang
diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping,baik yang diinginkan maupun
tidak. Bahkan dengan dosis yang tepatpun, efek samping terutama diakibatkan
oleh kurangnya spesifitas obat tersebut. Dalam beberapa masalah kesehatan, efek
samping dapat diinginkan, seperti dryl diberikan sebelum tidur. Efek sampingnya
berupa rasa kantuk menjadi menguntungkan. Efek toksik atau toksitas suatu obat
dapat diidenfikasi melalui pantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma
(serum). Tetapi untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar,
batas terapeutik jarang di berikan. Untuk obat-obat yang mempunyai batas
terapeutik sempit maka batas terapeutik dipantau dengan ketat.
- Reaksi Merugikan
Pada
saat-saat tertentu, reaksi merugikandanefek samping kadang-kadang dipakai
bergantian. Reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak diinginkan
dari obat-obat yang mengakibatkan efek samping ringan sampai berat, termasuk
anafifaksis (kolaps radiovaskuler). Reaksi yang merugikan selalu tidak
diinginkan.
- Efek Toksik
Efek
toksik atau toksitas suatu obat dapat diidenfikasi melalui pantauan batas terapeutik
obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi untuk obat-obat yang mempunyai
indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang di berikan. Untuk
obat-obat yang mempunyai batas terapeutik sempit maka batas terapeutik dipantau
dengan ketat.
- Reaksi Idiosinkratik
Obat
yang menyebabkan timbulnya efek yang tidak diperkirakan, misalnya reaksi
idiosinkratik yang meliputi klien bereaksi berlebihan, tidak beraksi, atau
bereaksi tidak normal terhadap obat. Contoh, seorang anak yang menerima
antihistamin (contohnya Benadryl) menjadi sangat gelisah atau sangat gembira,
bukan mengantuk. Adalah tidak mungkin memperkirakan klien mana yang akan
mengalami respon idiosinkratik.
- Reaksi Alergi
Merupakan
respon lain yang tidak dapat diperkirakan terhadap obat. Dari seluruh reaksi
obat, 5% sampai 10% merupakan reaksi alergi. Kekebalan tubuh seseorang dapat
tersensitisasi terhadap dosis awal obat. Apabila obat diberikan secara berulang
kepada klien, ia akan mengalami respon alergi terhadap obat, zat pengawet obat,
atau metabolitnya. Dalam hal ini, obat atau zat kimia bekerja sebagai antigen,
memicu pelepasan antibodi.
Alergi
obat dapat bersifat ringan atau berat. Gejala alergi bervariasi, bergantung
pada individu dan obat. Contoh, antibiotik dapat menimbulkan banyak reaksi
alergi. Gejala alergi yang umum timbul dirangkum pada Tabel 35-4. Reaksi yang
berat atau reaksi anafilaksis ditandai oleh konstriksi (pengecilan) otot
bronkiolus, edema faring dan laring, mengi berat, dan sesak napas.
Tabel
35-4 : Reaksi Alergi Ringan
Gejala
|
Deskripsi
|
Urtikaria
|
Erupsi kulit yang bentuknya tidak beraturan, meninggi,
ukuran dan bentuk bervariasi; erupsi memilki batas berwarna merah dan bagian
tengahnya berwarna pucat
|
Ruam
|
Vesikel kecil dan meninggi yang biasanya berwarna merah;
seringkali tersebar di seluruh tubuh
|
Pruritus
|
Gatal-gatal pada kulit, kebanyakan timbul bersama ruam
|
Rhinitis
|
Inflamasi lapisan memberan mukosa hidung; menimbulkan
bengkak dan penegeluaran rabas encer dan berair
|
Klien
juga dapat mengalami hipotensi berat, sehingga membutuhkan resusitasi darurat.
Klien yang memilki riwayat alergi terhadap tertentu harus menghindari
penggunaan berulang obat tersebut, dan setelah sadar klien harus mengenakan
gelang atau kalung identifikasi, sehingga perawat dan dokter dapat mengetahui
klien tersebut alergi terhadap obat tertentu.
- Toleransi Terhadap Obat
Beberapa
klien yang menerima obat dalam jangka waktu lama memerlukan dosis yang lebih
tinggi untuk memperolah efek yang sama. Seringkali dosis obat yang diberikan
kepada klien harus ditingkatkan untuk memperoleh efek yang sama.
- Interaksi Obat
Interaksi
obat terjadi apabila suatu obat memodifikasi obat yang lain. Umumnya terjadi
pada individu yang menggunakan beberapa obat. Sebuah obat dapat menguatkan atau
menghilangkan kerja obat lain dan dapat mengubah absorpsi, metabolism atau
pembuangan obat tersebut dari tubuh.
Obat dapat memilki efej sinergis atau adiktif apabila dua obat diberikan secara
bersamaan. Efek sinergis membuat kerja fisiologis kombinasi kedua obat tersebut
lebih besar daripada efek obat bila diberikan secara terpisah. Alcohol adalah
depresan susunan saraf pusat yang memilki efek sinergis pada antihistamin,
antidepresan, barbiturate, dan analgesic narkotik.
Interaksi obat selalu diharapkan. Seringkali seorang dokter memprogamkan terapi
obat untuk menciptakan interaksi obat guna mendapatkan keuntungan terapeutik.
Contoh, klien yang menderita hipertensi berat dapat menerima kombinasi terapi
obat, misalnya diuretic dan vasodilator, yang bekerja bersama menjaga tekanan
darah pada kadar yang diinginkan.
- Respon Dosis Obat
Setelah
perawat memberi obat, kemudian obat diabsorpsi, didistribusi, dimetabolisasi,
dan dieksresi. Semua obat memerlukan waktu yang lama untuk masuk ke dalam
aliran darah, kecuali obat yang diberikan secara intravena. Jumlah dan
distribusi obat pada kompartemen tubuh yang berbeda berubah secara konstan.
Tujuan suatu obat diprogram ialah untuk mencapai kadar darah yang konstan dalam
rentang terapeutik yang aman. Dosis berulang diperlukan utnuk mencapai
konsentrasi terapeutik konstan suatu obat karena sebagian obat selalu dibuang
(dieksresi). Ketika absorpsi berhenti, hanya metabolism, ekskresi, dan
distribusi yang berlanjut. Konsentrasi serum tertinggi obat (konsentrasi
puncak) biasanya dicapai sesaat sebelum obat terakhir diabsorpsi. Setelah
mencapai puncak, konsentrasi serum turun bertahap. Pada penginfusan obat
intravena, konsentrasi puncak dicapai dengan cepat tetapi kadar serum juga
mulai turun dengan cepat.
Semua
obat memilki waktu paruh serum, yakni waktu yang diperlukan proses ekskresi
untuk menurunkan konsentrasi serum sampai setengahnya. Untuk mempertahankan
Plateau yang terapeutik, klien harus mendapatkan dosis yang tepat dan teratur.
Setelah dosis awal diberikan, klien menerima dosis setiap obat berikutnya
ketika dosis sebelumnya mnecapai waktu paruhnya. Dengan cara ini, konsentrasi
terapeutik obat yang hamper stabil dapat dipertahankan.
Klien
dan perawat harus mengikuti penjadwalan dosis yang teratur dan mematuhinya
untuk menentukan dosis dan interval waktu pemberian dosis. Dengan mengetahui
interval waktu kerja obat, perawat dapat mengantisipasi efek suatu obat:
- Awitan kerja obat. Waktu ytang dibutuhkan obat sampai suatu respon muncul setelah obat diberikan.
- Kerja puncak obat. Waktu yang dibutuhkan obat sampai konsentrasi efektif tertinggi dicapai.
- Durasi kerja obat. Lama waktu obat bterdapat dalam konsentrasi yang cukup besar untuk menghasilkan suatu respon.
- Plateau. Konsentrasi serum darah dicapai dan dipertahankan setelah dosis obat yang sama kmebali diberikan.
Cara
ideal yang digunakan untuk mempertahankan kadar obat yang terapeutik ialah
melakukan penginfusan intravena secara kontinu. Cara ini mengeliminasi efek
fluktuasi pemberian dosis secara intermiten.
2.6.RESPON
TERHADAP METABOLISME XENOBIOTIK
a. Respon metabolisme
xenobiotik dapat menguntungkan karena metabolit yang dihasilkan menjadi zat
yang polar sehingga dapat diekskresi keluar tubuh
b. Respon metabolisme
xenobiotik dapat merugikan karena:
- Berikatan dengan makromolekul dan menyebabkan cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul menjadi hapten → merangsang pembentukan antibodi dan menyebakan reaksi hipersensitivitas yang berakibat cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul dan menyebabkan cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul menjadi hapten → merangsang pembentukan antibodi dan menyebakan reaksi hipersensitivitas yang berakibat cidera sel
- Berikatan dengan makromolekul menjadi zat
mutan yang menyebakan timbulnya sel kanker
Respon metabolisme xenobiotik dapat menguntungkan karena
metabolit yang dihasilkan menjadi zat yang polar sehingga dapat diekskresi
keluar tubuh dan mencakup efek farmakologik, toksik, imunologik, dan
karsinagenik. Jika xenobiotik tersebut berada dalam bentuk obat, reaksi fase 1
dapat mengubahnya kedalam bentuk aktif atau mungkin mengurangi atau
menghilangkan efek obat tersebut, jika xenobiotik itu sudah aktif secara
farmakologik tanpa perlu dimetabolisme sebelumnya. Berbagai efek yang
ditimbulkan oleh obat merupakan bidang studi farmakologi; di sini penting
disadari bahwa obat bekerja terutama melalui mekanisme biokimiawi. Beberapa
reaksi obat penting akibat bentuk mutan atau polimorfik enzim atau protein.
Enzim atau protein yang terkena Reaksi atau konsekuensi Glukosa
6-fosfat Dehidrogenase (G6PD)(mutasi) (MIM 305900) Anemia hemolitik setelah menelan
obat, misalnya primakuin.
Kanal pengeluaran Ca2+ (Reseptor reanodin) di retikulum
sarkoplasma (mutasi)(MIM 180901) Hipertermia maligna (MIM 145600) setelah
pemberian obat anestesi tertenti (misalnya halatan)CYP2D6 (Polimorfisme) (MIM
124030) Melambatnya metabolisme obat tertentu (misalnya debrisakuin) sehingga
terjadi penimbunan obat tersebut CYP2A6 (Polimerfisme) (MIM 122720) Gangguan
metabolisme nikotin, yang melindungi seorang dari kemungkinan menjadi perokok
dependen Yang mencerminkan perbedaan genetik dalam struktur enzim dan protein
di antara individu bagian bidang studi yang dikenal debagai farmakogenetika.
Polimorfisme yang mempengaruhi metabolisme obat dapat terjadi pada enzim apapun yang berperan dalam metabolisme obat (termasuk kelompok sitokrom P450), pada transporter dan pada reseptor. Xenobiotik tertentu bersifat sangat toksik bahkan pada kadar rendah (misal sianida). Beberapa xenobiotik lain, termasuk obat , tidak menimbulkan efek toksik jika diberikan dalam jumlah cukup. Walaupun spektrum efek toksik xenobiotik sangat luas, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar.
Polimorfisme yang mempengaruhi metabolisme obat dapat terjadi pada enzim apapun yang berperan dalam metabolisme obat (termasuk kelompok sitokrom P450), pada transporter dan pada reseptor. Xenobiotik tertentu bersifat sangat toksik bahkan pada kadar rendah (misal sianida). Beberapa xenobiotik lain, termasuk obat , tidak menimbulkan efek toksik jika diberikan dalam jumlah cukup. Walaupun spektrum efek toksik xenobiotik sangat luas, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar.
Pertama, adalah jejas sel
(sitotoksisitas), yang dapat cukup parah sehingga mematikan sel. Terdapat
banyak mekanisme yang digunakan oleh xenobiotik untuk mencederai sel salah satu
yang dibahas di sini adalah pengikatan secara kovalen spesies reaktif
xenobiotik, yang dihasilkan oleh metabolisme pada makromolekul sel. Makromolekul
sel sasaran tersebut DNA, RNA, dan protein. Jika makromolekul tempat xenobiotik
reaktif terikat ini esensial bagi kelangsungan hidup jangka pendek, misalnya
protein atau enzim yang perperan penting dalam suatu fungsi sel, seperti
fosforilasi oksidatif atau regulasi permeabilitas membran plasma, efek yang
kuat terhadap fungsi sel dapat cepat terlihat.
Kedua, spesies reaktif
suatu xenobiotik dapat berikatan dengan protein dan mengubah antigenisitasnya.
Xenobiotik ini dikatakan berfungsi sebagai hapten, yi, molekul kecil yang tidak
merangsang penbentukan antibodi dengan sendirinya, tetapi akan berikatan dengan
antibodi jika telah terbentuk. Antibodi yang terbentuk kemudian dapat merusak
sel melalui beberapa mekanisme imunologis yang sangat mengganggu proses
biokimiawi normal sel.
Ketiga, reaksi spesies
aktif karsinogen kimiawi dengan DNA diperkirakan sangat penting dalam proses
karsinogenesis kimiawi. Beberapa bahan kimia (misal benzo[α]piren) perlu diaktifkan
oleh monooksigenase di retikulum endoplasma agar menjadi karsinogenik (sehingga
disebut karsinogen tak langsung). Karena itu, aktivitas monooksigenase dan
enzim-enzim lain yang memetabolisme xenobiotik dapat membantu menentukan apakah
senyawa tersebut menjadi karsinogenik atau “terdetoksifikasi”. Bahan kimia lain
(misal berbagai bahan pengalkil) dapat bereaksi langsung (karsinogen langsung)
dengan DNA tanpa mengalami aktivitas kimiawi di dalam sel.
Enzim epoksida hidrolase menarik perhatian karena enzim ini
dapat menimbulkan efek protektif terhadap karsinogen tertentu. Produk kerja
monooksigenase tertentu pada beberapa substrat prokarsinogen adalah epoksida
yang dapat bersifat sangat reaktif dan mutagenik atau karsinogenik atau
keduannya. Epoksida hidrolase seperti sitokrom P450 yang juga terdapat di
mambran retikulum endoplasma, bekerja pada senyawa ini dan mengubahnya menjadi
dihidrodiol yang jauh kurang reaktif.
2.6.1.
Metabolik Detoksifikasi
Detoksifikasi ("detoks") memiliki konotasi yang
luas mulai dari spiritual ke ilmiah, dan telah digunakan untuk menggambarkan
praktik dan protokol yang mencakup kedua pelengkap (puasa, pembersihan kolon)
dan konvensional (chelation atau terapi antitoksin) sekolah pemikiran medis -
serta beberapa yang mendorong batas-batas masuk akal ilmiah (seperti
detoksifikasi kaki ion).
Dalam konteks biokimia manusia (dan protokol ini),
detoksifikasi dapat digambarkan dengan presisi lebih banyak, di sini mengacu
pada jalur metabolisme yang spesifik, aktif di seluruh tubuh manusia, yang
memproses bahan kimia yang tidak diinginkan untuk eliminasi. Jalur ini (yang
akan disebut sebagai detoksifikasi metabolisme) melibatkan serangkaian reaksi
enzimatik yang menetralisir dan melarutkan racun, dan membawa mereka ke organ
sekretorik (seperti hati atau ginjal), sehingga mereka dapat dikeluarkan dari
tubuh. Jenis detoksifikasi kadang-kadang disebut metabolisme xenobiotik, karena
itu adalah mekanisme utama untuk membersihkan tubuh dari xenobiotik (bahan
kimia asing), namun, reaksi detoksifikasi sering digunakan untuk menyiapkan
endobiotics tidak dibutuhkan (endogen diproduksi kimia) untuk ekskresi dari
tubuh.
Kelebihan hormon, vitamin, molekul inflamasi, dan senyawa
sinyal, antara lain, biasanya dihilangkan dari tubuh oleh sistem detoksifikasi
yang sama enzimatik yang melindungi tubuh dari racun lingkungan, atau obat
resep yang jelas dari peredaran. Reaksi detoksifikasi metabolisme, oleh karena
itu, tidak hanya penting untuk perlindungan dari lingkungan, tapi pusat
keseimbangan homeostatis dalam tubuh. Protokol ini menggambarkan pendekatan
gizi untuk optimasi umum detoksifikasi metabolisme, melainkan dirancang untuk
memberikan dasar untuk fungsi yang tepat dari sistem kritis. Masalah kesehatan
tertentu mungkin memerlukan tambahan detoksifikasi "intervensi"
protokol (seperti detoksifikasi logam berat, atau alkohol-induced pencegahan
mabuk).
Toksin
dan Paparan racun Racun adalah senyawa beracun
yang dihasilkan oleh organisme hidup, kadang-kadang "biotoxin"
digunakan untuk menekankan asal-usul biologis dari senyawa. Senyawa
kimia buatan manusia dengan potensi beracun yang toxicants lebih tepat disebut.
Racun dan toxicants dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan dalam
beberapa cara. Beberapa luas bertindak sebagai
mutagen atau karsinogen (menyebabkan kerusakan DNA atau mutasi, yang dapat
menyebabkan kanker), yang lain bisa mengganggu jalur metabolik tertentu (yang
dapat menyebabkan disfungsi sistem biologi tertentu seperti sistem saraf, hati,
atau ginjal).
Diet
merupakan sumber utama dari paparan racun. Racun
dapat menemukan jalan mereka ke dalam makanan oleh beberapa rute, terutama
kontaminasi oleh mikroorganisme, buatan manusia toxicants (termasuk pestisida,
residu dari pengolahan makanan, obat resep, dan limbah industri), atau lebih
jarang, kontaminasi oleh racun dari lainnya "Makanan non- "Tanaman
sources.1, 2 Beberapa logam berat beracun (memimpin, merkuri, kadmium,
kromium), sementara tidak" buatan manusia, "telah dirilis /
didistribusikan ke lingkungan pada tingkat yang berpotensi berbahaya oleh
manusia, dan dapat menemukan mereka jalan ke diet juga. Racun mikroba, disekresikan oleh bakteri dan jamur,
dapat tertelan bersama dengan makanan yang terkontaminasi atau tidak benar
dipersiapkan.
Bahkan metode persiapan makanan memiliki potensi untuk
mengubah konstituen makanan yang terjadi secara alamiah dalam toxins.3
Misalnya, suhu tinggi dapat mengkonversi nitrogen yang mengandung senyawa dalam
daging dan produk sereal ke dalam benzopyrene mutagen kuat dan akrilamida,
masing-masing. Ikan asap dan keju
mengandung prekursor terhadap racun yang disebut N-nitroso senyawa (NOC), yang
menjadi mutagenik ketika dimetabolisme oleh bakteri kolon.
Di luar dari eksposur, diet pernafasan untuk senyawa organik
volatil (VOC) adalah risiko umum yang telah dikaitkan dengan beberapa efek yang
merugikan kesehatan, termasuk kerusakan ginjal, masalah imunologi,
ketidakseimbangan hormonal, kelainan darah, dan tingkat peningkatan asma dan
bronchitis.4
Salah satu sumber terbesar dari non-makanan paparan racun
adalah udara di home.5 Bahan bangunan (seperti penutup lantai dan dinding,
papan partikel, perekat, dan cat) dapat "off-gas" melepaskan beberapa
toxicants yang dapat dideteksi di humans.6 Misalnya, turunan benzena beracun
yang biasa digunakan dalam desinfektan dan pengharum terdeteksi pada 98% orang
dewasa dalam (EPA) "TIM" Badan Perlindungan Lingkungan study.7 Dalam
studi lain EPA, tiga pelarut beracun tambahan hadir di 100
persen dari sampel jaringan manusia diuji di seluruh country.8
Baru dibangun atau direnovasi bangunan dapat memiliki
sejumlah besar bahan kimia "off-penyerangan dgn gas beracun",
sehingga menimbulkan apa yang disebut "sindrom bangunan sakit." 9
Karpet adalah pelaku sangat besar, berpotensi melepaskan beberapa neurotoksin,
dalam pengujian lebih dari 400 sampel karpet , neurotoksin yang hadir di lebih
dari 90 persen dari sampel, secara kuantitatif cukup dalam beberapa sampel
untuk menyebabkan kematian pada mice.10 Ironisnya, tak lama setelah laporan
TIM, tujuh puluh satu karyawan sakit dievakuasi markas EPA baru di Washington
DC mengeluh masalah kesehatan mengklaim ,
yang pada akhirnya dikaitkan dengan 27.000 kaki persegi baru carpet.11
Karpet juga menjebak racun lingkungan, yang "Non-Pestisida Kerja Exposure Study" (nopes) menemukan rata-rata 12 residu pestisida per karpet sampel, dan menetapkan bahwa rute eksposur kemungkinan menyediakan bayi dan balita dengan hampir semua non-diet eksposur mereka ke DDT pestisida terkenal, aldrin, atrazine, dan carbaryl.12
Menghindari racun / paparan racun
Karpet juga menjebak racun lingkungan, yang "Non-Pestisida Kerja Exposure Study" (nopes) menemukan rata-rata 12 residu pestisida per karpet sampel, dan menetapkan bahwa rute eksposur kemungkinan menyediakan bayi dan balita dengan hampir semua non-diet eksposur mereka ke DDT pestisida terkenal, aldrin, atrazine, dan carbaryl.12
Menghindari racun / paparan racun
Meskipun
tidak mungkin untuk sepenuhnya menghilangkan toksin / racun eksposur dari semua
sumber, ada cara untuk menguranginya:
·
Batasi pengenalan VOC di rumah dengan menggunakan produk
pembersih bebas VOC, rendah VOC cat, dan karpet lemparan memilih bukan baru
carpeting13;
·
Simpan
makanan dalam wadah A (BPA)-bebas atau bebas phthalate bisphenol, dan
menghindari pemanasan kembali makanan dalam wadah plastik;
·
Carilah
produk organik, yang tumbuh tanpa pestisida, dan akan mengandung residu kurang
dari buah-konvensional diproduksi dan sayuran (meskipun menyadari bahwa produk
organik belum tentu "bebas pestisida") 14
·
Mencuci
buah atau sayuran dapat menurunkan beberapa residu pestisida, meskipun tidak
efektif terhadap semua, pestisida types15 dan buah dan sayuran komersial solusi
mencuci mungkin tidak lagi efektif daripada air alone.16 Peeling kulit off dari
produk dapat membantu untuk lebih pestisida yang lebih rendah tingkat;
·
Batasi asupan
makanan olahan. Bahkan orang-orang yang bebas
dari pengawet sintetis dapat mengandung sejumlah terdeteksi senyawa beracun
yang diperkenalkan (dengan transformasi kimia) selama pemrosesan. Sebagai
contoh, banyak racun yang dihasilkan oleh suhu tinggi yang digunakan untuk
memproduksi beberapa makanan olahan ingredients.17
·
Meskipun risiko toksisitas akut dari undercooking daging
(keracunan makanan) kemungkinan risiko yang lebih besar daripada paparan racun
dari overcooking itu, ada cara untuk mengurangi produksi toksin selama
persiapan daging: hindari kontak langsung daging untuk membuka api atau
permukaan logam panas; memasak daging pada atau di bawah 250 ◦ F via kesal,
memasak braising, crockpot (metode persiapan lambat makanan yang memanfaatkan
cair); putar daging sering selama memasak, menghindari waktu memasak yang lama
pada suhu tinggi, dan menahan diri dari mengkonsumsi hangus portions.18
2.6.2. MEKANISME TOKSITAS : AKTIVASI DAN DEAKTIVASI
METABOLIK
Pada
umumnya untuk menimbulkan efek toksik xenobiotik memerlukan proses aktivasi
metabolic oleh enzim-enzim yang secara normal ada dalam tubuh. Proses aktivasi
metabolic ini merupakan bagian dari proses metabolism xenobiotik. Proses
metabolism xenobiotik yang merupakan proses multilangkah,pada umumnya merupakan
proses perubahan senyawa yang lipofilik menjadi metabolit yang lebih
hidrofilik. Metabolit yang terbentuk umumnya tidak aktif/kurang aktif
dibandingkan dengan senyawa asalnya serta mudah diekskresikan. Akan tetapi
salah satu atau lebih langkah/jalur metabolism dapat menghasilkan senyawa yang
lebih aktif/reaktif daripada senyawa asalnya. Apabila jalur ini menghasilkan
senyawa yang kurang toksik disebut sebagai jalur detoksikasi atau jalur
deaktivasi. Sebaliknya bila jalur
metabolic tersebut menyebabkan terbntuknya senyawa yang lebih aktif dinamakan
jalur aktivasi (bioaktivasi). Oleh sebab itu metabolit aktif yang terbentuk
secara kuantitatif dipengaruhi oleh adanya langkah-langkah/jalur yang ada.
Proses
aktivasi metabolic dapat terjadi didalam organ target maupun di luar organ
target. Apabila aktivasi metabolok terjadi di luar organ target maka metabolic
aktif harus ditransport ke organ target untuk dapat menimbulkan toksisitas.
Oleh sebab itu, selain metabolit aktif tersebut harus mencapai kadar toksik
minimum di dalam organ/jaringan target. Adanya factor toksikokinetik dan
toksikodinamik akan mempengaruhi efek toksik yang timbul. Oleh karena kapasitas
metabolic terbsar ada di dalam hepar,dengan sendirinya kapasitas aktivasi
menuju metabolit toksik adalah bukan jalur utama (jalur minor). Jalur matabolik
utama adanya jalur detoksikasi.
Senyawa
toksik mampu merusak sel pada organ target dalam berbagai cara. Respon akhir
mungkin merupakan jejas/luka yang dapat balik (reversible) ataupun perubahan
yang tak terbalikkan (irreversible) yang mengakibatkan kematian sel. Walaupun
seluruh proses yang menyebabkan kematian sel belum jelas benar, akan tetapi
beberapa element kunci telah diketahui dan setidaknya beberapa tahapan dari
suatu seri perubahan seluler telah terungkap.
Tahapan-tahapan
proses toksisitas dapat dibedakan menjadi tahapan primer, sekunder dan tertier.
Tahapan primer adalah proses yang menyebabkan kerusakan awal, tahapan sekunder
adalah perubahan seluler yang mengikutinya dan tahapan tertier adalah perubahan akhir yang teramati. Tahapan primer
dapat berupa peroksidasi lipid, interaksi kovalen dengan makromolekul sel, perubahan
status thiol seluler, inhibisi enzim aatu ischemia. Tahapan sekunder dapat
berwujud kerusakan dan hambatan fungsi mitokondrial, perubahan
sitoskeleton,perubahan struktur dan permeabilitas membrane,kerusakan
DNA,deplesi(pengurasan)ATP dan kofaktor lain, perubahan kadar Ca,deatabilisasi
lisosomal,stimulasi apoptosis atau kerusakan endoplasmic reticulum. Tahapan
tertier yang teramati dapat berupa steatosis,degenerasi hidropik,nekrosis atau
neoplasia (timbrell,1991).
Pada
aras molekuler inisiasi sitotoksisitas/kerusakan sel karena senyawa kimia dapat
terjadi melalui berbagai cara (Alvares & Pratt,1990) :
1. Reaksi
Alkilasi
Reaksi
ini dapat terjadi karena adanya senyawa-senyawa/spesies yang kekurangan
electron. Sebagai contoh adalah alkilasi DNA oleh senyawa mutagen golongan
alkilnitrosamin dan vinil klorid. Hal yang sama juga terjadi dengan adanya
senyawa-senyawa yang sangat mudah diubah, menjadi bentuk-bentuk yang kekurangan
sepasang electron.misalnya, pembentukan karbokation dari diol epoksid
hidrokarbon aromatic dan ion-ion nitrenium dari amina aromatis.
2. Terbentuknya
Radikal Bebas
Adanya
radikal bebas dapat menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan membrane
sel.proses ini membutuhkan oksigen dan menimbulkan serangan peroksidatif pada
lipid tidak jenuh. Transformasi berbagai xenobiotik juga diperantai melalui
peroksida ini. Sebagai contoh adalah hepatotoksisitas karena CCl4
dan iproniazid.
3. Toksisitas
karena oksigen
Melalui
reduksi oksigen menjadi superoksid (suatu radikal) yang mampu menyerang
molekul-molekul yang sensitive atau melalui peroksid yang terbentuk dengan
perantaraan enzim dismutase superoksid. Proses reaksi dengan superoksid dan
peroksid tsb di atas dapat berlangsung didalam sel-sel somatic yang
mengakibatkan kerusakan jaringan atau inisiasi pertumbuhan tumor ataupun bias
terjadi di dalam sel-sel germinatif yang menyebabkan mutasi atau kematian gamet.
Sebagai contoh toksisitas karena oksigen adalah timbulnya fibrosis pulmoner
oleh herbisida paraquat.
2.6.3.
MANIFESTSI TOKSISITAS
Ada banyak cara
suatu organism merespon senyawa toksik dan ujud responnya di pengaruhi oleh
sejumlah factor. Walaupun banyak efek toksik xenobiotik mempunyai dasar biokimiawi
yang sama,eksperi ekspresi efek tersebut dapat sangat berbeda. Sebagai contoh
interaksi xenobiotik dan atau metabolismenya dengan nukleat dapat menginduksi
pertumbuhan tumor atau boleh jadi menghasilkan generasi baru yang abnormal.
Interaksi suatu senyawa toksik dalam proses metabolism normal dapat menyebabkan
respon fisiologis seperti paralisis otot atau turunnya tekanan darah atau dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dari sebuah organ. Interaksi kovalen antara
xenobiotik toksik dan protein sel dalam kondisi tertentu menimbulkan respon
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Xenobiotik berasal dari bahasa Yunani:
Xenos yang artinya asing. Xenobiotik adalah zat asing yang masuk dalam tubuh
manusia. Contoh: obat obatan, insektisida, zat kimia tambahan pada makanan
(pemanis, pewarna, pengawet) dan zat karsinogen lainya. Xenobiotik umumnya
tidak larut air, sehingga kalau masuk tubuh tidak dapat diekskresi. Untuk dapat
diekskresi xenobiotik harus dimetabolisme menjadi zat yang larut, sehingga bisa
diekskresi. Organ yang paaling berperan dalam metabolisme xenobiotik adalah
hati. Ekskresi xenobiotik melalui empedu dan urine. Pada metabolisme obat, pada
obat yang sudah aktif → metabolisme xenobiotik fase 1 berfungsi mengubah obat
aktif menjadi inaktif, sedang paa obat yang belum aktif → metabolisme xenobiotik
fase 1 berfungsi mengubah obat inaktif menjadi aktif
Contoh: obat obatan, insektisida,
zat kimia tambahan pada makanan (pemanis, pewarna, pengawet) dan zat biotikkarsinogen
lainya. Metabolisme xenobiotik terjadi di hepar.
DAFTAR
PUSTAKA
Arief, M, Suproharta,
Wahyu J.K. Wlewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ED : 3 jilid : 1. Jakarta
: Media Aesculapius FKUI.
Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal.
Closkey, Mc, et all. 2007. Diagnosa Keperawatan NOC-NIC. St-Louis
Anonim. 2007. Skabies (kulit gatal bikn sebel). http://www.cakmoki86.wordpress.com
Anonim. 2008. Skabies.
Carpenito, Linda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal.
Closkey, Mc, et all. 2007. Diagnosa Keperawatan NOC-NIC. St-Louis
Anonim. 2007. Skabies (kulit gatal bikn sebel). http://www.cakmoki86.wordpress.com
Anonim. 2008. Skabies.
Carpenito, Linda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
otter dan Perry. 2005.
Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta:
EGC
Kee Joyce L. Dan Hayes
Evelyne R.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC
Sudoyo, et al.
2006. Buku ajar Imu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi 4. FKUI. Jakarta.
Liska, DJ. The
Detoxification Enzyme Systems. Altern Med Rev 1998; 3(3): 187-198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar